-->

Iklan

Menu Bawah

Gagal Bangun Ekonomi, Cellica Jangan Berlindung Di Balik Prasangka Rasial

Admin
08 September 2018, 18.26 WIB
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini


Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman suku bangsa, ras, keyakinan dan budaya. Kini bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada persoalan rongrongan terhadap utuhnya keberagaman tersebut. Padahal proses toleransi antar sesama manusia di Indonesia berakar dari solidaritas antar anak bangsa karena adanya kesamaan nasib di tengah cengkraman kolonial. Terjalinnya solidaritas bangsa bisa dilacak pada fase perkembangan masyarakat Indonesia ketika Perhimpunan Dagang Hindia Timur/verenigde Oost Indische Compagny (VOC) menjalankan praktek Hongi Totchen ratusan tahun lalu. Penindasan oleh VOC dan kemudian fasisme Jepang yang pada tahap tertentu membangkitkan semangat pembebasan nasional hingga Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Kemerdekaan Indonesia bukan saja ditandai oleh hengkangnya kolonial, tetapi jauh dari itu adalah landasan persatuan dan kesatuan dari berbagai perbedaan anak bangsa sebagai sarat-sarat merdeka telah terpenuhi. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki tujuan terciptanya suatu tatanan masyarakat adil dan makmur tanpa membedakan agama, ras dan golongan. 

Dalam hal ekonomi, pengertian adil dan makmur tidak terbatas pada golongan, keyakinan dan ras (suku bangsa). Dasar pikiran dan kaidahnya telah dijelaskan dalam konstitusi kita UUD 45 pasal 33 yang berbunyi: ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sedangkan penekanan praktisnya dijelaskan dalam UUD 45 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. 

Dengan kerangka dasar itu, tulisan ini akan menyorot soal pernyataan rasial bupati Karawang dr. Cellica Nurachadiana dalam menyikapi fenomena urbanisasi menyertai lebarnya kesenjangan masyarakat Karawang yang ditandai dengan tingginya angka pengangguran dan angkatan kerja yang tidak terserap lapangan pekerjaan. Bahkan Cellica akan membuat Peraturan Bupati (Perbup) mengenai Larangan bagi pendatang yang akan mencari pekerjaan di Karawang. Sikap rasis Cellica tentu saja akan melabrak UUD 45 pasal 27 ayat 2. Melalui pendekatan ekonomi politik, tentu saja sikap rasis Cellica disamping mempertontonkan ketidakmampuannya sebagai Bupati dalam membangun perekonomian rakyat juga dapat memicu antagonisme struktural baik pada konteks relasi ekonomi maupun relasi sosial secara luas. Perlakuan Rasis seperti yang dilakukan Cellica akan sangat mungkin dijumpai orang karawang dalam perantauannya. Terlebih dalam hubungan kerja industrial sangat terbuka kemungkinan perlakuan diskriminatif terhadap buruh-buruh asal Karawang oleh para atasannya yang berasal dari luar Karawang. Hal ini sama sekali lepas dari tanggung jawab dan kendali seorang bupati.

Niskala pembangunan ekonomi Karawang

Tiga tahun sudah berjalan pemerintahan Cellica. Rasanya sulit bagi kita untuk melacak magnum opus pembangunan ekonomi yang berwatak produktif. Untuk menjawab kebutuhan lapangan kerja dari tingginya angka pengangguran dan angkatan kerja, Cellica lebih banyak mengandalkan kebaikan hati investor dalam membuka lapangan kerja khususnya di sektor industri manufaktur. Sedangkan kebijakan kegiatan ekonomi yang diselenggarakan oleh pemerintahannya dibebankankan pada sistim BUMDES secara liar dengan konsep pemberdayaan UMKM yang hingga saat ini tidak bisa menjawab problem-problem penyebab lemahnya ekonomi masyarakat. Justru yang gencar digalakan adalah pada kebijakan sektor fiskal dengan cara menggenjot pajak dan program genit pariwisata yang banyak menebar kerusakan lingkungan.
Benar, bahwa problem ekonomi tidak bisa dituntaskan dilevel pemerintahan kabupaten. Sebab, ekonomi sangat dipengaruhi oleh kebijakan nasional dan global. Namun terlepas dari itu, Cellica pernah mengumbar janji politiknya saat mencalonkan diri menjadi bupati dan janji itu dimanifestasikan dalam visi dan missi kabupaten Karawang saat ini. Paling tidak janji kesejahteraan rakyat dipenuhi dengan cara menjalankan kebijakan pembangunan ekonomi produktif dengan meletakkan prinsip dasar rakyat pekerja sebagai penggerak roda perekonomian.
Atas dasar itu, dalam tulisan sederhana ini penulis mengutuk keras sikap rasis Cellica untuk menutupi ketidakmampuan kekuasaanya dalam membangun ekonomi masyarakat. Selanjutnya penulis akan menyampaikan sumbang pikiran jalan keluar dari dua masalah pokok yang dihadapi kabupaten ini yakni (i) minimnya kesempatan kerja berikut segala potensi terbukanya lapangan kerja baru dan (ii) serbuan calon tenaga kerja dari luar yang dianggap kerap menimbulkan gejolak sosial:

1.  Sektor Industri Manufaktur
a.  Daur ulang sisa produksi (Limbah industri)
Seiring dengan perkembangan industri manufaktur di kabupaten Karawang yang tidak secara massal menyerap tenaga kerja lokal karena pembukaan lapangan kerja tidak sebanding dengan peluang kerja disertai persaingan tenaga kerja itu sendiri. Padahal, terdapat peluang usaha yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Peluang usaha berupa pemanfataan barang sisa-sisa produksi terutama scrap besi untuk didaur ulang, berhasil ditangkap oleh masyarakat yang bernaung di bawah badan hukum LSM (lembaga Swadaya Masyarakat). Bagi LSM-LSM di Karawang hal demikian cukup bisa memberikan input ekonomi bagi keluarga anggotanya walau nilainya masih sangat kecil. Sayangnya dimana terdapat kemauan LSM-LSM untuk berkegiatan usaha tidak serta merta mendapat tanggapan positif dari pemerintah. Tak jarang pemerintah dan aparat penegak hukum mengecam aksi-aksi tawuran LSM. Bahkan tak jarang masyarakat yang memberi stigma buruk terhadap keberadaan LSM. Sebetulnya perselisihan antar LSM sangat mudah untuk didamaikan dan diantisipasi dari awal selama pemerintah berkemauan memfasilitasi usaha mereka dengan cara-cara produktif semisal membangun pabrik peleburan besi/baja. Sejauh ini, LSM-LSM tersebut hanya mampu memperoleh barang sisa produksi dari pabrik namun dijual kepada bos-bos besarnya. Tidak jarang LSM-LSM hanya menjual SPK kepada bos nya sebab LSM-LSM tersebut tidak memiliki sarana-sarana produksi daur ulang seperti pabrik dan alat transportasi. Bos-bos besar ini lah yang memiliki itu semua, sehingga hasil terbesar dari bisnis barang sisa-sisa produksi dinikmati oleh bos-bos besar.
Apabila pemerintah mau menjalankan usaha tersebut dengan membangun pabriknya maka jelas terbuka lebar kesempatan kerja bagi masyarakat. Sementara, LSM-LSM akan lebih dapat meningkatkan pendapatannya karena mereka tidak lagi menjual SPK tetapi menjual barang scrup ke perusahaan daerah yang dibangun pemerintah.

b.  Jasa dan perdagangan
Entitas bisnis di kawasan industri Karawang sudah berjalan cukup lama. Dan selama itu pula pemerintah nyaris tidak mau melakukan kerjasama ekonomi dengan pihak industri. Sejauh ini terdapat pula peluang usaha yang bisa dikelola pemerintah dibidang jasa transportasi khusus angkutan karyawan. Jika usaha transportasi angkutan karyawan bisa dijalankan oleh pemerintah Karawang, artinya terbuka lagi kesempatan kerja secara massal bagi masyarakat baik untuk menjadi sopir atau perbengkelannya. Selain itu, dibidang perdagangan superti suplyer segala kebutuhan produksi tertentu (consumable) di setiap perusahaan dipegang oleh pengusaha-pengusaha menengah di luar Karawang. Karena suplyer-suplyer ini bersifat massal maka sudah pasti keuntungan usaha tersebut bernilai ekonomi tinggi.

2.  Pertanian dan Perikanan
a.  Sektor pertanian
Lemahnya ekonomi pedesaan yang didominasi oleh kegiatan usaha pertanian seharusnya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk berperan penting dalam kebangkitan ekonomi masyarakat desa. Persoalan paling umum di sektor petanian adalah lebih pada timpangnya struktur agraria. Dimana penguasaan dan pemilikan tanah secara absentee dan latifundia masih belum bergeming dan cenderung menguat. Padahal UUPA no 5 tahun 1960 melarang keras model penguasaan tanah seperti demikian karena menyebabkan capital outflow dan pengonsentrasian kekayaan ditangan segelintir tuan tanah. Hal ini sebenarnya yang berkontribusi besar terhadap kemiskinan kaum tani di desa-desa. Oleh sebab itu jika pemerintah berkemauan membangun ekonomi desa maka harus memobilisasi anggaran untuk membeli (ganti rugi) sawah-sawah yang dikuasai absentee landlord dan latifundia. Sawah-sawah hasil pembelian itu atau dalam pengertian lainnya nasionalisasi, kemudian dikelola oleh pemerintah dalam unit usaha BUMD. Multiflier effect dari itu dipastikan dapat mengikis kesenjangan dan memiliki kendali terhadap kedaulatan pangan.
Sementara konflik-konflik tanah, harus segera diselesaikan dengan cara intervensi politis mengambil alih tanah konflik untuk kemudian dijadikan unit usaha pertanian BUMD.

b.  Sector perikanan
Dengan melimpahnya sumber kekayaan ikan baik laut atau tambak seharusnya pemerintah menyegerakan membangun pabrik-pabrik berbahan baku ikan seperti pengalengan ikan, tepung ikan dsb.


  
Lalu bagaimana dengan problem urbanisasi?
Seperti halnya presiden, setiap melakukan kunjungan ke Negara-negara lain mengedepankan diplomatik pada tujuan khusus membangun kerjasama ekonomi. Datanglah bupati ke daerah-daerah asal para urban untuk membangun hubungan diplomatik dengan pemerintahannya. Disamping bertujuan menawarkan produk-produk hasil dari industri rakyat Karawang juga bertujuan agar bisa mendorong pembangunan ekonomi di daerah-daerah asal urban. Hal demikian akan lebih bermanfaat ketimbang menghambur-hambur anggaran dengan alasan kunker studi banding.

Dari paparan contoh-contoh sederhana pembangunan ekonomi di atas tentunya memiliki beberapa out put diantaranya : (i) Serapan tenaga kerja sangat massal (ii) menyumbang PAD produktif secara signifikan, dan (iii) mengerem laju urban masuk ke Karawang. Bukan perkara mudah memang untuk mewujudkannya, karena hal demikian mengedepankan konsekwensi anggaran yang luar biasa besar juga mentalitas birokrasi kita yang bobrok yang hanya mengharapkan ceceran-ceceran fee dari projek-projek pembangunan infrastruktur dsb. Tetapi, jika hal demikian itu dapat merangsang pertumbuhan ekonomi serta menjadi solusi dari kemiskinan dan kesenjangan sosial maka tidak ada alasan untuk menunda-nundanya. Mau tidak mau watak anggaran harus diubah dari  orientasi konsumtif ke pos yang produktif dengan memangkas anggaran belanja rutin dinas yang tak penting, itu pun kalau tidak mau pemerintah kabupaten karawang terseok-seok dalam arus prasangka rasial.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Resensi

+