masukkan script iklan disini
1. UUPA 1960 yang sering menjadi rujukan utama dari gerakan untuk reformasi agraria mengandung kontradiksi penting. Yaitu, dalam soal mengadilkan sumber-sumber agraria yang sepenuhnya mencerminkan gagasan borjuis kecil. Land reform dijalankan dengan tujuan memfragmentasikan tanah-tanah yang menjadi objek land-reform (tanah eks HGU, tanah negara, tanah absente, tanah guntai) menjadi pertanian skala kecil.
2. Pertanyaan yang mesti dijawab apakah land reform, salah satu agenda kunci dari Reforma Agraria ini akan dijalankan seperti UUPA 1960 yang intinya adalah redistribusi umum? Seharusnya dilakukan penelitian terhadap petani yang telah menerima tanah sebagai hasil dari land reform hingga tahun 1964 yang telah mendistribusikan 1,15 juta ha tanah. Apakah saat ini kondisi mereka bertambah sejahtera? Tapi satu yang pasti bahwa pembagian tanah-tanah kecil itu menjadi semakin fragmentatif lagi pada masa kini.
3. Data ini juga menarik untuk mengkaji secara lebih kritis UUPA Tahun 1960. Penelitian lapangan dari Ladejinsky berdasarkan proses land reform di Indonesia hingga akhir tahun 1964 menunjukkan: “Dalam kasus di Jawa dan dengan asumsi bahwa setiap pemilik baru menerima 1,5 ha, maka pada akhir tahun 1963 jumlah toal keluarga yang menerima manfaat dari reform ini adalah 128.000; dan bila seluruh tanah yang dicadangkan untuk redistribusi benar-benar dibagikan di akhir tahun 1964, maka jumlah penerima akan sekitar 248.000. Sekilas nampaknya angka-angka ini tidak kecil , tetapi bila perkiraan kasar saja bahwa jumlah petani penyakap sekitar empat sampai lima juta orang mendekati kenyataan, maka tidak lebih dari 6% saja dari keluarga tersebut yang akan menerima tanah ketika berakhirnya program ini”. Data ini mengundang pertanyaan kritis, paling tidak untuk kasus di Jawa dengan skema redistribusi umum seperti amanat UUPA 1960 yaitu, jatah pembagian lahan 1,5 ha per keluarga petani. Jika pada tahun 1964 saja hanya mampu memenuhi kebutuhan 6% saja dari total 4 sampai 5 juta jumlah keluarga petani di Jawa, dapat dibayangkan pada situasi sekarang ini ketika jumlah lahan dan potensi yang sekiranya dapat menjadi obyek land reform di Jawa menjadi semakin menyusut karena alih-fungsi dsb, sedang jumlah keluarga tani (penyakap, buruh tani dan lapisan miskin pedesaan lainnya) sudah pasti meningkat pesat skema redistribusi umum tanah di Jawa pasti akan mengalami kegagalan untuk secara signifikan mengangkat kehidupan kaum tani dengan memberinya tanah seluas 1,5 ha.
4. Apalagi jika pernyataan kepala BPN, Joyo Winoto benar bahwa 67% penduduk miskin berada di pedesaan. Jika kita menggunakan data Bank Dunia yaitu garis kemiskinan adalah penduduk yang penghasilannya dibawah US $ 2 per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 108 juta. Maka sekitar 61,1 juta penduduk miskin tinggal didesa. Jika kita asumsikan satu keluarga petani miskin itu 5 orang, terdapat 12,1 juta keluarga petani miskin. Jika skema reformasi agraria dari Pemerintahan SBY yang menyatakan akan mendistribusikan 8,15 juta ha tanah, maka satu keluarga petani miskin hanya akan menerima 0,67 ha. Apakah ini akan mampu mengangkat kesejahteraan kaum tani? Apakah dalam setengah generasi saja bukan tidak mungkin pemilikan lahan kaum tani dari hasil land reform ini sudah berkurang menjadi setengahnya dengan konsep pewarisan, dijual dsb? Tidak bisa tidak konsep redistribusi umum adalah konsep pendistribusian kepemilikan atau hakekatnya borjuis. Pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan kontradiksi ini dengan cara memindahkan penduduk Jawa—sebagai tempat yang menjadi konsentrasi penduduk tani namun persedian tanahnya tidak mencukupi—dengan topeng politik etis ke luar Jawa, terutama Sumatera –tempat dimana persediaan tanah melimpah namun minim penduduk—sebagai tenaga kerja bagi manufaktur modern yang akan dibangun namun dengan cara-cara yang mirip dengan perbudakan—kuli kontrak, plus hukum cambuk, penyiksaan dan kekejian lainnya.
5. Apakah konsep redistribusi umum tanah dengan realitas demografi kaum tani yang semacam itu dan gambaran potensi lahan pertanian diatas sebagai konsep land reform dapat menjadi pijakan bagi pertanian yang produktif (baca: modern)? Termasuk dengan memfragmentasikan perkebunan-perkebunan yang sudah dikelola secara modern—karena perkebunan eks HGU adalah salah satu objek dari land reform. Sehingga didapati landasan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial kaum tani?
6. Kenapa di AS dimana jumlah petaninya kurang dari 3% produksi pertaniannya mampu mencukupi kebutuhan nasionalnya, bahkan menjadi eksportir penting produk pertanian termasuk salah satu pengekspor beras terbesar di dunia? Kenapa Jepang, mungkin juga sebagian negeri eropa yang sering menjadi cerita sukses land reform terbebani keuangan nasionalnya hingga ratusan miliar dollar? Subsidi yang sering dikutuk oleh para petani dari dunia ketiga juga oleh Amerika. Sudah pasti tuntutan ini muncul akibat hak pemilikan dan cara pandang borjuis kecillah yang menjadi penyebabnya.
7. Kunci dari persoalan ini telah coba digambarkan oleh Marx: “Dibidang agrikultur, industri berskala-besar mempunyai efek revolusioner yang lebih besar daripada di bidang lain yang manapun, yaitu dikarenakan ia memusnahkan “petani”, benteng dari masyarakat lama, dan menggantikannya dengan kelas upahan…Metode agrikultur yang tidak-rasional dan kuno digantikan oleh penerapan ilmu teknologikal yang sadar…semua kemajuan dalam agrikultur kapitalis merupakan suatu kemajuan keahlian, tidak hanya dalam merampok si pekerja tetapi juga merampok tanah…Produksi kapitalis, oleh karenanya, hanya mengembangkan teknik-tehnik dan derajat kombinasi proses produksi sosial dengan serempak merusak sumber-sumber asli semua kekayaan –tanah dan pekerja.” Yang dikritik oleh Marx hanyalah caranya mengeksploitasi sehingga menimbulkan ekses negatif-nya yaitu dampak ekologis, dan juga ekses terhadap eksploitasi kelas pekerja atau dengan kata lain pola penguasaan terhadap hasil-hasil produksinya oleh kelas kapitalis. Ini artinya industri pertanian skala besar dengan penerapan ilmu pengetahuan teknologi adalah sumber produkifitas, namun akan menjadi sumber kemakmuran jika pengelolaan dan hasil-hasilnya dikembalikan kepada kelas pekerjanya. PR-nya adalah secara terus menerus ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu menjawab dan mengatasi bagaimana mencegah, mengurangi, dan memulihkan tingkat kesuburan tanah. Apakah teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan akan mampu menjawab soal dampak ekologis ini? Jika ada kemauan pasti akan lebih mampu ketimbang cara-cara tradisional.
8. Mau menuju kemana Land Reform di Indonesia? Mau pola redistribusi ataupun sosialisasi terhadap penguasaan tanah yang akan dijalankan tidak bisa tidak harus ada pemindahan penduduk. Jika pembagian tanah 2 ha seperti konsep Orde Baru dianggap gagal mensejahterakan para transmigran, jika menggunakan konsep seperti di Malaysia menjadi 10 ha mungkin sudah bisa dikelola secara modern walau dalam derajat teknologi dalam level rendah—dan mungkin Indonesia juga akan menjadi magnet TKA/seperti juga Malaysia yang menjadi magnet TKI untuk bekerja di perkebunan-perkebunan. Kontradiksinya adalah pengelolaan lahan 2 ha maupun 10 ha, sudah jelas tetap membutuhkan/memanfaatkan tenaga kerja upahan. Pengalaman pertanian tradisional di Jawa menunjukkan bahwa keluarga yang mengelola 0,5 ha saja tetap membutuhkan pekerja upahan—apakah ini bukan penyakapan/eksploitasi gaya baru? Jika konsep sosialisasi yang hendak ditempuh, artinya membutuhkan sentralisasi tanah maka perkebunan-perkebunan modern dialihkan menjadi milik sosial/negara dan dikelola sendiri oleh para pekerjanya dan bukan difragmentasikan. Dan perluasan industri perkebunan dan pertanian harus menjadi masa depan bagi kaum tani.
9. Untuk menjawab ketunakisma-an, pengangguran, dan kemiskinan kaum tani di pedesaan maka ini harus diselesaikan oleh orientasi dari kebijakan ekonomi makro secara komprehensip: industri nasional harus dikembangkan secara modern dan massal untuk menyerap lapangan kerja, juga industri yang mendukung pertanian, mengerahkan seluruh potensi sumber daya alam dan ekonomi untuk mendukung program modernisasi pertanian sehingga alat-alat dan sarana produksi pertanian menjadi lebih murah (BBM, pupuk, gas untuk pabrik pupuknya, bibit, infrastruktur pertanian (irigasi, jalan-jalan untuk menghubungkan antar desa dsb), juga dengan pembukaan perkebunan dan pertanian besar dan modern di luar Jawa yang dikelola secara kolektif oleh pekerjanya (bisa dari tenaga kerja lokal dan juga transmigran sukarela). Keberhasilan proyek modernisasi pertanian dan perkebunan akan mampu menjadi pilot project program pertanian kolektif. Modernisasi pertanian di Jawa lebih sulit dan lebih lama untuk bisa dijalankan oleh karena skala fragmentasi lahan yang sudah terlanjur berjalan demikian lama dan massifnya. Dalam berbagai literatur pengertian reformasi agraria juga telah diperluas hingga mencakup aspek-aspek pendukung pertanian dari mulai proses produksinya hingga distribusi hasil-hasil pertaniannya juga kebijakan ekonomi dan politik pendukungnya (akses terhadap kredit, suku bunga dsb).
10. Warisan konflik agraria adalah juga mendesak untuk diselesaikan. Konflik yang muncul dari berbagai kasus agraria: penggusuran paksa dengan ganti rugi rendah/tanpa ganti rugi baik tanah pribadi maupun tanah hasil dari proses land reform sebelumnya. Penggusuran dilakukan oleh negara bersama-sama dengan kelas-kelas yang dilayani kepentingannya. Misalnya: eks HGU yang seharusnya menjadi objek land reform dialih fungsikan menjadi perkebunan negara dan swasta, atau tanah dialih-fungsikan untuk dijadikan dam, jalan, pabrik, industri properti, pariwisata, perluasan area perkebunan dsb. Sebagai pejuang untuk membebaskan kaum tani dari kemiskinan dan keterbelakangan kita harus lebih mengedepankan aspek-aspek keadilan yang ilmiah dan modern dan jangan sampai terperangkap kepada romantisme borjuis kecil, kadang-kadang yang lebih ekstream juga fetitisme terhadap hubungan tanah dan kaum tani. Lapangan yang menjadi ajang kita merumuskan jalan keluar mendesak dari konflik agraria adalah: Bagaimana jika tanah-tanah bermasalah tersebut secara fisik sudah berubah menjadi pertanian dan perkebunan modern, atau sudah berubah menjadi infrastruktur (jalan, dam, dsb)? Apakah dikembalikan menjadi lahan pertanian, dicarikan lahan pengganti, atau konsep pemberian ganti ruginya yang dibuat menjadi lebih adil bagi kaum tani? Bagaimana jika masih berupa lahan tidur? Bagaimana dengan lahan-lahan menganggur milik negara atau juga swasta namun skala lahannya kecil? Posisi kita harus terang dalam dalam soal ini karena ini yang akan mengkarakterisasi apakah land reform itu bersifat progresif atau tidak.
11. Di luar soal-soal agraria itu konsep untuk menyelesaikan kemiskinan kaum tani adalah sama dengan bagaimana kita meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan kaum miskin lainnya. Program perjuangan ekonomi mendesaknya adalah bersama-sama menuntut kepada negara untuk memenuhi jaminan sosial minimum bagi seluruh warga negara. Jaminan ini meliputi: pendidikan, kesehatan, akses terhadap air bersih, perumahan, lapangan kerja, upah layak, kredit produksi yang berbunga rendah dan sebagainya.
12. Sedang dalam lapangan politik program perjuangan mendesaknya kaum tani bersama lapisan kaum miskin lainnya adalah berjuang bersama dengan membangun alat perjuangan bersama membangun pemerintahan baru yang merdeka/mandiri, kerakyatan, modern. Dalam konteks demokrasi di Indonesia adalah tidak cukup metode perjuangannya hanya dengan gerakan/persatuan perjuangan sektoral saja, hanya alianasi taktis lintas sektor saja. Tapi juga siap bertarung secara elektoral dengan mempersiapkan alat perjuangannya.
13. Terkait dengan rencana yang digulirkan oleh Pemerintahan SBY-Kalla bahwa akan dijalankan reformasi agraria dengan membagikan lahan seluas 8,15 juta hektar itu tetap harus dikritisi. Pertanyaan-pertanyaan penting untuk diajukan adalah: Bagaimana pola distribusi lahannya? Darimana sumber-sumber lahan yang akan menjadi objek daripada porogram distribusi tanah ini? Apakah hanya tanah negara/swasta yang menganggur? Atau kah perkebunan-perkebunan besar negara/swasta juga akan dijadikan objek land reform dengan memfragmentasikannya?
14. Menuntut kepada negara untuk memenuhi jaminan sosial minimum bagi seluruh warga negara. Jaminan ini meliputi: pendidikan, kesehatan, akses terhadap air bersih, perumahan, lapangan kerja, upah layak, kredit produksi yang berbunga rendah dan sebagainya.
Ditulis oleh : Binbin Firman Tresnadi