masukkan script iklan disini
Untuk memahami realitas politik saat ini dapat kita analisa dari dua aspek. Pertama, Polarisasi politik (partai dan elit) semakin menunjukkan ketajamannya menjelang pemilu 2019. Kedua, kebekuan politik rakyat (depolitisasi) telah membangkitkan keinginan rakyat itu sendiri masuk kedalam gelanggang kontestasi politik bernama pemilu yang terbungkus baju demokrasi, baik terlibat langsung dalam kontestasi pemilu mau pun pada tingkat mendukung calon yang dianggap baik.
Polarisasi elit dan koalisi partai ditandai dengan saling hujat dan saling kecam antar elit dan para pendukungnya. Pertikaian ini berlangsung di ruang-ruang publik mulai dari media sosial melalui kampanye tagar sampai mobilisasi massa di lapangan. Sayangnya, pertikaian yang Nampak adalah terbatas pada persoalan Ganti Presidan dan Jokowi Dua Periode. Dan sayangnya lagi keadaan politik tersebut telah menyeret rakyat pada pusaran konflik kebencian yang berlindung dari balik jubah agama dan pancasila.
Sejalan dengan kondisi tersebut di atas, kaum pergerakan sendiri nyaris kehilangan watak kepelorannya di lapangan politik. Padahal disadari atau pun tidak, banyak rakyat yang sudah merelakan diri untuk mendukung para elit walau harus bermusuhan dengan sesamanya. Di luar itu, selebihnya massa rakyat masih apatis karena tertinggal kesadaran politik kepentingannya. Keadaan ini menandakan absennya tuntunan dan pedoman dari kaum revolusioner yang mencakup metodotolgi perjuangan aspirasi bagi massa rakyat.
Sebelumnya, selama dua dekade paska terjungkalnya Orde Baru kaum pergerakan masih menunjukkan kepeloporannya (vanguard) baik dalam bentuk pewadahan aspirasi massa rakyat melalui partai politik revolusioner maupun gerakan golput walau masih belum secara luas keberhasilannya memimpin gerakan kekecewaan rakyat terhadap elit politik setidaknya gerakan tersebut turut memberikan sumbangan atas pengelompokan basis perlawanan massa rakyat pada situasi politik yang berkembang saat itu.
Bagi massa rakyat yang secara suka rela menerjunkan diri ke dalam kancah politik elektoral dengan cara dukung mendukung tidak dapat disimpulkan sebagai kemajuan kesadaran massa rakyat dalam konteks kesadaran politik. Situasi ini hanyalah satu langkah maju yang bertolak dari sikap keterbudakan dan inferioritas untuk sekedar mendapat belas kasihan kekuasaan atas aspirasinya, bukan dalam pengertian populisme terlebih tindakan revolusioner. Keterlibatan massa rakyat dapat kita lihat dari partisipasinya dalam gerakan deklarasi 2019 Ganti Presiden di sejumlah kota di Indonesia.
Kendati tagar Ganti Presiden yang di gagas oleh PKS yang gencar dideklarasikan bersama koalisinya dengan melibatkan massa rakyat, namun sekali lagi, massa rakyat telah terpecah kedalam dua kubu dukungan politik. Fakta menunjukan bahwa dimana dilaksakan deklarasi ganti presiden disitu muncul reaksi dari kelompok pendukung Jokowi, tidak terkecuali di Karawang ini. Berawal dari rencana deklarasi 2019 Ganti Presiden yang dipelopori Elyasa Budianto (Caleg PKS) pada 2 september 2018 di Karawang Pawitan yang akan mengikutsertakan 3000 massa dari kalangan berbagai sektor rakyat kemudian mendapat respon keras dari lawan politiknya dengan rencana deklarasi 2019 Jokowi Dua Periode di tempat dan waktu yang bersamaan di bawah komando Deden Sofian (Caleg PDIP). Seperti halnya kubu deklarator 2019 Ganti Presiden, kubu 2019 Tetap Jokowi pun sama akan mengerahkan massanya dalam jumlah besar kurang lebih 5000 masa dari berbagai unsur massa rakyat.
Nampak nyata hinga saat ini, kedua kubu elit hanya menunjukan fanatisme terhadap calon presiden yang didukungnya dan membenci calon presiden yang menjadi lawannya. Padahal kedua kubu ini mengklaim menjadi bagian kelompok politik yang mewadahi kepentingan rakyat namun sampai saat ini belum muncul aspirasi yang secara konkrit diusung oleh kedua blok politik menjelang rencana gerakan tersebut. Dengan demikian kenyataan politik seperti itu tentunya tidak serta merta mengajukan kesimpulan bahwa pertarungan terbuka ini merupakan manifestasi dari harapan-harapan rakyat yang tengah diperjuangkannya. Rencana ini hanyalah bentuk hajatan elit politik, massa rakyat tersubordinasi.
Jika saja rencana dari kedua kubu politik tetap diselenggarakan maka tidak terutup kemungkinan konflik perang urat saraf akan meningkat menjadi bentrokan fisik. Tentu saja, rakyatlah yang dirugikan. Karenanya, kedua belah kubu politik harus membatalkan rencana deklarasi tanggal 2 september 2019, untuk mencegah bentrokan massa rakyat dengan massa rakyat. Lalu bersama kaum tani kedua belah kubu berkemauan bersama-sama memobilisasi massa pada tanggal 24 september 2019 untuk memperingati lahirnya UUPA No. 5 tahun 1960 yang dikenal dengan Hari Tani Nasional. Kesempatan itulah yang layak menjadi momentum politik yang diisi bersama-sama kedua blok politik untuk membangun komitmen perjuangan untuk terselenggaranya REFORMA AGRARIA menuju pembangunan INDUSTRIALISASI PERTANIAN.
Oleh : Engkos Kosasih (Sekjen SEPETAK)