masukkan script iklan disini
1. Tidak ada gerakan Kiri yang cukup berpengaruh untuk menghasilkan perubahan signifikan pada Pilpres 2019.
o Gerakan Kiri hari ini tidak punya dampak signifikan pada perpolitikan Indonesia, baik secara aktual maupun potensial.
§ Secara aktual, gerakan Kiri terpecah-pecah secara organisasional. Ditambah lagi basis massanya semakin mengecil, ditinggal orang hijrah.
§ Secara potensial (artinya kalaupun kita bayangkan bisa bersatu), gerakan Kiri hanya akan menyumbang di bawah 1% total suara dalam Pilpres 2019; dengan kata lain, insignifikan.
§ Berpikir gerakan Kiri hari ini punya dampak signifikan sehingga punya hak untuk menentukan aturan permainan berarti mengidap “waham kebesaran” (delusion of grandeur) yang sangat akut.
o Pilpres 2019 akan berjalan dengan atau tanpa gerakan Kiri
§ Gerakan Kiri belum punya kekuatan nyata untuk menggeser sistem politik elektoral menjadi sistem demokrasi kerakyatan
§ Ratusan tulisan kritis tentang buruknya politik elektoral borjuis, tidak akan mengubah politik elektoral borjuis
§ Kritik adalah kritik adalah kritik. Kenyataan lain lagi.
2. Masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2019 lebih menguntungkan buat gerakan Kiri ketimbang mempropagandakan golput.
o Golput bukan bukti sikap kritis; justru sebaliknya, memilih golput di 2019 (seperti di 2014) adalah bersikap naif. Entah itu sebagai pilihan politik maupun sebagai bagian dari kampanye delegitimasi.
§ Sebagai pilihan, golput bukan pilihan. Golput tidak dihitung dalam sistem elektoral kita. Sehingga heroisme memilih golput adalah heroisme untuk menjadi insignifikan.
§ Sebagai kampanye deletigimasi atas sistem elektoral, propaganda golput berarti mengasingkan diri dari kemungkinan untuk membuat aliansi taktis dengan unsur-unsur progresif dalam ekosistem elektoral. Di zaman Orba, tidak ada unsur progresif dalam sistem, maka golput menjadi pilihan taktis. Di zaman pasca-Reformasi, unsur itu ada hanya saja mata kita sudah terlanjur terbebat kain teori Alien versus Predator (yakni segala macam teori “elit predatoris”, “oligarki” dan “o mama o papa” lainnya). Malas bekerja, banyak curiga. Rendah inisiatif, tinggi teori.
o Masuk ke medan elektoral bukan berarti berhenti menjadi sekadar “relawan” (dalam pengertian lazimnya), melainkan mengupayakan kemungkinan untuk mengambil posisi dalam rezim yang akan menang demi memajukan agenda Kiri
§ Kritik atas elektoralisme biasanya justru terjebak dalam asumsi elektoralisme: “Ngapain dukung capres? Kita bakal kecewa ntar waktu presiden terpilih ngga menjalankan janji-janjinya”. Hanya orang yang percaya betul pada elektoralisme yang bisa berilusi bahwa janji-janji kampanye akan terlaksana dengan sendirinya, tanpa kerja pasca-elektoral kita sebagai penyokongnya. Mereka lupa bahwa setelah janji, ada kerja.
§ Tidak ada template seragam untuk memenangkan posisi dalam rezim demi memajukan agenda Kiri. Untuk itu tidak ada jalan lain: belajar berpolitik, jangan hanya berdiskusi politik.
3. Mendukung Jokowi lebih menguntungkan bagi gerakan Kiri daripada mendukung Prabowo di Pilpres 2019
o Soekarnoisme adalah pilihan terdekat (secara ideologis) bagi gerakan Kiri
§ Gerakan Kiri perlu membuka buku sejarah Indonesia (ini penting: bukan Rusia) lagi dengan satu pertanyaan ini di lubuk hatinya: ideologi mana di antara partai-partai yang ada sekarang yang paling dekat dengan pandangan-dunia Kiri?
§ Soekarno, Natsir atau Sjahrir? Kalau pilihannya hanya ada tiga itu, siapa orang yang mengaku Kiri tapi tak memilih Soekarno?
§ Soekarno memang bukan Aidit atau Njoto, tapi tanpa Soekarno—umpama Soekarno diganti Sjahrir atau Natsir—tidak akan ada Aidit atau Njoto.
o Mendukung Jokowi berarti menyelamatkan ruang demokrasi, sebab dia lah figur terkuat saat ini yang dapat membendung gelombang fundamentalisme anti-Kiri
§ Ide-ide Kiri perlu ruang demokrasi untuk hidup dan berkembang.
§ Menolak Jokowi berarti membuka pintu bagi penghancuran ruang demokrasi oleh golongan fundamentalis. Beraliansi dengan golongan fundamentalis adalah berilusi, berteman dengan tukang jagalnya sendiri.
§ Gerakan Kiri yang menolak Jokowi sebetulnya sedang menggali kuburnya sendiri.
o Mendukung Jokowi bukan sekadar mendukung orang bernama Joko Widodo, melainkan memajukan agenda Soekarnoisme yang direpresentasikan olehnya dan partai penyokongnya.
§ Nawacita dan Trisakti adalah posisi ideologi mainstream yang paling progresif saat ini. Dari sana, banyak hal yang bisa didorong untuk jadi lebih progresif lagi.
§ Jangan lupa: yang didukung sesungguhnya bukan orangnya, tetapi ideologi di baliknya—posisi historis yang direpresentasikan olehnya dalam konstelasi politik hari ini. Sosoknya adalah indeks dari posisi tersebut.
4. Kekeliruan Indoprogres di 2014: mengartikan “dukungan kritis” sebagai posisi intelektual, bukan sebagai kerja politik.
o Kita mengkritik politik transaksional tapi diam-diam menyimpan asumsi transaksional: kita memberikan suara dengan mengharapkan pelaksanaan janj-janji yang direpresentasikan oleh suara tersebut sebagai imbalannya.
o Masalah kita: kesadaran berpolitik seperti anak kos-kosan. “Jangan pada berisik, gue mau tidur.” “Seminggu lagi ya, Kang, lagi cekak nih.” Kita berpolitik dengan mendepankan hak warganegara, bukan kewajiban warga untuk membangun negara.
o Dukungan kritis sebagai posisi intelektual: “Sampah numpuk, Kang, beresin dong, kan gue udah bayar sewa”. Berpolitik dengan kesadaran anak kos.
o Dukungan kritis sebagai kerja politik: “Sampah numpuk, Kang, yuk kita bersihin rame-rame”. Berpolitik dengan kesadaran membangun negara.
5. Kaum Intelektual Kiri mesti kembali menjadi orang Indonesia, bukan berusaha menjadi Indonesianis
o Ada tendensi dekaden di kalangan intelektual Kiri hari ini: berlomba-lomba menjadi Indonesianis di negeri sendiri. Terlihat smart dengan menulis articles dan essay. “Oh Indonesia, alangkah malang nasibmu”—seakan-akan mereka bukan bagian dari Indonesia. “Tidak ada Prumpung hari ini.”
o Ketika tendensi dekaden ini mengejawantah dalam tinjauan seputar Pilpres 2019, hasilnya sungguh bisa ditebak. Kaum “Indonesianis” yang Marxis akan membawa-bawa Rusia ke mana-mana—Leninisme sebagai haute couture. Kaum “Indonesianis” yang libertarian akan mengamati Indonesia sebagai sebuah entitas teoretis yang tak ada sangkut-pautnya dengan diri mereka sebagai warga dunia.
o Semua varian dari tendensi dekaden itu akhirnya sama saja: mereka berlaku seolah-olah Indonesia bisa dibongkar-pasang semaunya sesuai amanat hati nurani teoretis. Seolah-olah sejarah Indonesia itu nisbi dan tentatif.
o Kerja intelektual Kiri hanya bisa dimulai dengan meninggalkan ilusi seorang Indonesianis; ia hanya bisa dimulai dengan pertama-tama mengambil bagian dalam negara-bangsa yang nyata dan menyejarah bernama Indonesia ini. Mengambil pilihan-pilihan nyata yang punya implikasi konkrit pada jalannya sejarah bangsa kita. Mengambil posisi pemikiran dan membawanya dalam praktik yang didasarkan atas kepentingan kebangsaan yang mewujud dalam para tetangga kita, orang-orang yang kita temui di jalan, tukang rokok di ujung gang, semua, semua orang Indonesia yang hidup dan mati bersama kita di Republik ini.
o Sudah waktunya kita meninggalkan ilusi intelektual yang menempatkan Indonesia sebagai “rumah kaca” yang kita amati dalam prasangka intelektual kita, yang bisa dirakit dan dibongkar-pasang sesuai tuntutan teori dan hukum kodrat emansipasi, seakan-akan kita adalah ahli waris sah dari Jacques Pangemanann.
o Sekarang kau tahu resikonya: stop berimajinasi tentang Cornell, atau kau akan menjadi Cornelis de Houtman.
6. Yang kita butuhkan sekarang, lebih dari segalanya, adalah realisme politik
o Sebagian akibat tendensi menjadi Indonesianis yang menjangkiti kaum intelektual Kiri kita, muncul pula tendensi moralistik dalam memandang politik riil. Moral compass kita seolah-olah sudah dipatok pada sistem klasifikasi Marxis sehingga kita menggolong-golongkan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan seturut sistem klasifikasi tersebut. Di sini teori-teori Marxis canggih dan terkini juga tidak membantu. Belajar tinggi-tinggi, jadinya dogmatis juga; persis seperti anak-anak LMND di kursus politik pertamanya, bedanya hanya membaca Verso atau tidak.
o Salah satu sebab mengapa gerakan Kiri sangat involutif adalah moralisme Kiri itu sendiri. Ada salah satu obat yang manjur: baca, baca lagi Machiavelli. Belajarlah realisme politik sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya berakhir menjadi kelompok studi (kembali ke titik di mana gerakan ini mulai di era 1980-an).
o Sadari bahwa:
§ Jumlah aktivis kita: seupil
§ Kondisi organisasi kita: seperti fragmen puisi Agus Jabo
§ Mutu kader kita: sebagian besar demoralisasi (sebagian hijrah jadi fundies, sebagian lain hijrah jadi Wota)
o Periksa pilihan yang ada:
§ Golput = menjadi insignifikan untuk lima tahun ke depan (istilah kerennya: hiatus), dengan kata lain, demoralisasi lagi untuk lima tahun ke depan
§ Prabowo = ruang demokrasi semakin sempit, ideologi semakin tidak nyambung, demoralisasi menanti
§ Jokowi = ruang demokrasi diamankan, kesempatan untuk menggali dan mempropagandakan akar sosialisme dari Soekarnoisme, kemungkinan untuk membangun basis massa
o Ambillah pilihan yang paling menguntungkan buat gerakan, yang paling mungkin memenangkan agenda progresif.
7. Kaum Kiri Indonesia, jangan centil!***