-->

Iklan

Menu Bawah

Kelestarian Hutan adalah Titipan Anak Cucu

Admin
02 Februari 2012, 16.11 WIB
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Berawal dari kehadiran investasi swasta berupa usaha-usaha besar dibidang industri terutama manufaktur, kemudian menyusul kebijakan nasional yang menunjuk Karawang sebagai salah satu kabupaten perluasan kawasan industri melalui Keputusan Presiden Nomor 53/1989, banyak diyakini sebagai etape baru kebijakan yang telah merubah wajah Karawang baik dari aspek ekonomi, politik mau pun sosio-budaya. 

Kekeliruan Pembangunan
Berkaitan dengan titi mangsa sejarah tersebut diatas, dimana terjadinya pemusatan kegiatan ekonomi telah mendorong terbentuknya daerah sekitar itu berkarakteristik magnetub menyedot banyak manusia yang kemudian dikenal sebagai kaum pekerja urban. Fenomena ini bisa kita saksikan disejumlah kecamatan sekitar kawasan industri dan berikat, seperti Karawang Timur, Karawang Barat, Klari, Telukjambe, Ciampel dan Cikampek. Padahal sebenarnya pada 2 dasawarsa kebelakang kecamatan-kecamatan tersebut tidaklah jauh berbeda secara karakteristik dengan kecamatan-kecamatan lain di kabupaten Karawang. Pengecualian yang sudah cukup lama dinyatakan secara eksisting jauh sebelum ditetapkannya Karawang sebagai pengembanga kawasan industri yaitu Karawang Barat, Karawang Timur dan Cikampek. Hal inilah yang kemudian mengajukan kebutuhan perluasan pemukiman yang mau tidak mau harus dipenuhi. Disamping arus urban, ledakan penduduk yang tak terkendali juga berpengaruh atas tuntutan logis itu.

Secara eksplisit nampak bahwa selama 2 dekade terakhir ini tersaji kemajuan-kemajuan diberbagai bidang pembangunan, namun sepanjang periode itu pula kemiskinan tetap berkecamuk dan dalam waktu yang bersamaan terjadi degradasi lingkungan yang hingga detik ini kerusakan tersebut begitu hebat mengancam masa depan kehidupan manusia. Saat ini saja sudah dapat dipastikan pada setiap tahunnya dibeberapa daerah di Karawang selalu ada yang menderita bencana banjir, kekeringan, angin kencang, longsor, pencemaran sungai, air bawah tanah dan udara oleh limbah industri dsb. Contoh peristiwa spektakuler yang tak sedikit menimbulkan kerugian masyarakat bisa kita tengok kebelakang tepatnya maret dua tahun lalu saat air citarum berarus besar yang kemudian menjebol beberapa titik tanggul sehingga banjir besar di Karawang waktu itu masuk dalam kriteria bencana nasional. Peristiwa serupa juga pernah terjadi pada tahun 2006. Sementara bencana dalam bentuk yang berbeda seperti kekeringan dan kebanjiran areal pertanian menyebabkan gagal panen sebagai faktor pokok dari krisis pangan di kabupaten ini . Bencana-bencana tersebut bukanlah sebuah azab ilahi yang ditimpakan pada umatnya atau pun kehendak sejarah yang harus kita terima dengan legowo akan tetapi merupakan kausalitas dari ketidak seimbangan alam karena faktor-faktor penyeimbangnya telah lama hilang berikut keteledoran dunia usaha dalam menjalankan bisnisnya seperti pembuangan limbah. Penyeimbang yang paling pokok itu adalah kawasan hijau hutan yang berkontribusi besar bagi resapan air hujan, cadangan air bagi keperluan pertanian dsb. walaupun demikian tak sedikit kalangan yang beranggapan bahwa penghilangan penyeimbang alam terbesar secara nyata terjadi di kabupaten Bandung dan Bogor, sementara karawang hanya seperkecilnya saja.

Sementara hal-hal terkait dengannya yang palig sulit diterima akal sehat adalah setiap bencana melanda lalu berpotensi menelan korban hendaknya segera diselamatkan, oleh karena itu diperkuatlah kelembagaan SAR melalui dinas sosial, peran aktif kampus dalam pekerjaan sosial tersebut serta upaya-upaya lain yang justru menjauhkan kenyataan yang terjadi dari segala sebab musababnya berikut langkah praktis yang tepat untuk mengatasinya. Fenomena yang selalu dikaitkan dengan tugas sosial sebagai bentuk perlambang kasih sesama umat manusia ini sendiri sebenarnya merupakan langkah awal atas reaksi alam yang mulai menggeliat karena prilaku manusia terhadapnya. Hal ini pula yang sama sekali tidak dapat terlepas dari proses eksploitasi alam secara menggila sehingga reaksi-reaksi alam terus mempengaruhi keadaan sosial.

Sebuah terobosan ilmu pengetahuan pun kemudian berhasil merumuskan ide sosial pembentukan regu penyelamat bencana yang dikenal dengan nama SAR (Search And Rescue) yang pertama kali lahir di Amerika pada akhir abad 17 tepatnya 1793 kurang lebih separuh abad pasca revolusi industri. Di indonesia sendiri gagasan ini muncul bersamaan terdaptarnya Indonesia sebagai anggota ICAO (International Civil Aviation Organitation) pada tahun 1950. Lalu, dengan adanya perubahan tata politik orde lama berganti orde baru gagasan ini semakin dipertegas pada tahun 1966 dengan Keppres No. 203 tahun 1966 dan negara kita juga telah terdaftar sebagai anggota ICMO (Intergovernmental Maritime Consultative Organization). Sampai saat ini organisasi SAR secara nasional tetap berkiprah. Sebagaimana dinegeri kelahirannya, SAR hadir di Indonesia menyambut bencana alam yang datang silih berganti. Bencana alam berupa reaksi babi buta karena hamparan hutan-hutan yang sebelumnya merupakan pemandangan begitu menakjubkan hingga kemudian dijarah habis-habisan sejak VOC memegang kendali ekonomi politik di bumi nusantara.

Dari uraian singkat diatas, penulis mencoba mencermati apa yang disebut dengan modernisme yang kental dengan balutan terminologi pembangunan, pada korelasi peran negara/pemerintah dalam memangku berbagai kebijakan sekaligus alat pendalil kepentingan tenrtentu untuk merasuki pikiran masyarakat melalui diskursus pembangunan demi kesejahteraan rakyat sehingga ada pendekatan telaahan atas kondisi mayoritas masyarakat yang bergelimang kesengsaraan ekonomi disatu posisi dan lingkungan yang didera kehancuran pada posisi yang berbeda. Kedua hal inilah yang kita katakan sebagai bagian dari gejala sosial yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Sebagaimana disiratkan sebelum alinea ini tentang kemajuan-kemajuan pembangunan yang berhasil diwujudkan di Karawang terutama mengenai hal-hal khusus antara lain : Ekonomi, Pendidikan, kesehatan, Infrastruktur dsb, pada dasarnya ialah merupakan kesatuan gerak yang terorganisasi oleh hegemoni kepentingan suatu kelompok kecil sehingga berhasil mengerangkakan pikiranan mayoritas masyarakat. Kerangka pikiran tersebut kemudian mengkonstruksi sebuah realitas modernisme kanan. Realitas yang menjelma sebagai kebenaran universal yang nisbi.

Dalam rekam jejak sejarah, istilah pembangunan atau depelovement merupakan salah satu istilah yang memiliki cakupan pengertian sangat ideologis atas tarik-menariknya kepentingan dua blok besar dunia. Barat yang dikomandoi AS dan Timur oleh Soviet. Paman Sam menghendaki pembangunan diseluruh dunia ketiga tentunya pembangunan yang berada dalam kontrolnya sendiri. Misi ini ditandai dengan penetapan kebijakan luar negeri AS sendiri yang diumumkan oleh presiden Hary S Truman pada 20 Januari 1949 sebagai upaya menandingi gagasan-gagasan revolusioner USSR di blok timur. Pada puncaknya kemenangan perang dingin ada dipihak Blok Barat (kubu AS) yang menganut paham kapitalisme, sementara seiring dengan keruntuhannya, Soviet yang berhaluan sosialis berhasil dipecundangi.

Pada era 50-60 an pusat studi internasional yang dimiliki oleh salah satu kampus besar di Amerika Serikat, Massachusetts Institute of Technology memainkan peran penting diskursus pembangunan bagi kekuatan kebijakan luar negeri AS. Menurut Yanuardi, Dalam pandangan ini development sebagai sebuah evolusi perjalanan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Ide ini dapat ditemukan dalam teori pertumbuhan yang sangat terkenal yakni pada skema lima tahap pertumbuhan W.W. Rostow. Asumsinya adalah semua masyarakat termasuk masyarakat barat pernah mengalami ”tradisional” dan akhirnya menjadi ”modern”. Sikap manusia tradisional dianggap masalah. Rostow memfokuskan perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses tersebut. Berdasarkan tafsiran McClelland, atas Max Weber, bahwa etika prostestan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di barat. Apa rahasia Weber tentang etika protestan yang menurutnya adalah ”the need for achievement”(N-ach). Alasannya penyebab negara dunia ketiga terbelakang adalah karena rendahnya ”need for achiecment”tersebut. Sekali lagi disini sikap dan budaya manusia yang dianggap sumber masalah. Dan prototip dari The achieving society adalah masyarakat kapitalis.

Seperti yang disebutkan tadi, bahwa depelovementalisme adalah sebuah diskursus dan teori. Pada dasarnya diskursus itu adalah sendi dari skema besar ekonomi yang diterapkan AS yang terus bermetamorfosis. Hingga gagasan dari sang maestro Adam Smith mengalami perkembangan yang membuat kita berdecak setelah Fredick von Hayek dan muridnya Milton Friedman pencetus monetarisme dari Universitas Harvard menjelaskan kepada dunia tentang pasar bebas dan liberalisasi ekonomi. Gagasan kedua ekonom yang neoliberal ini kemudian diperkuat oleh hegemoni kekuasaan AS melalui presidennya Ronald Reagan (baca : reaganomic) bersamaan dengan wanita si tangan besi perdana menteri Inggris Margareth Tatcher dalam bukunya yang termashur, There Is No Alternative/TINA.
Sejak saat itulah Neoliberal berkembang didaratan Amerika dan benua eropa selanjutnya menyebar keseluruh penjuru dunia.

Melalui ekspansi modal berikut kekuatan senjata, AS terus melalukan penetrasi diskursus pembangunan dan resep-resep neoliberal ke negara-negara dunia ketiga bersama alat-alat ideologisnya seperti disiplin ilmu pengetahuan pada kalangan akademisi, LSM dan penguasa yang telah berhasil memegang kendali politik dan terutama militer dinegerinya. Di Indonesia sejak berdirinya pemerintahan orde baru kita mengenal sistem pembangunan Repelita (rencana Pembangunan Lima Tahun) yang ditopang oleh lembaga keuangan iternasional, Bank Dunia dan IMF yang mampu bertahan selama pelita 6 dan setelahnya rejim otoritarian Harto tak lagi sepenuhnya tunduk pada AS dan kemiskinan rakyat serta kehancuran lingkungan karena eksploitasi besar-besaran berhasil menciptakan gelombang perlawanan rakyat hingga kemudian menggulung tikar pemerintahan rejim eksplosif yang mendandani dirinya dengan retorika pembangunan.

Pengelolaan Hutan gaya Neoliberal
pengelolaan hutan diera Neoliberal tak dapat dilepaskan dari peran penting reproduksi disiplin ilmu pengetahuan pada teori-teori ilmiah tentang kehutanan. Tak jauh berbeda dengan diskursus pembangunan, good governance, partisifasi masyarakat sipil, desentralisasi dsb. Kenyataan yang terjadi disiplin ilmu pengetahuan telah mereduksi kebenaran pengetahuan komunal masyarakat desa hutan terutama yang bertalian erat dengan segi-segi kehidupan manusia lebih spesifik. Instrumen lain yang turut mendesak pengetahuan masyarakat tentang hutan adalah regulasi yang tak memberi ruang secara lebar bagi masyarakat untuk terlibat penuh dalam tata kelola hutan.
Kelembagaan pemerintah dan Perhutani yang saat ini masih menempati posisi dominan secara yuridis dalam tata kelola hutan memperbesar kecenderungan semakin parahnya kerusakan hutan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan berikut wewenang kepada Perhutani dalam mengolah hutan yang hanya menomorsatukan profitabilitas semata. Pada keagungan fakta, kususnya di Karawang, dengan eratnya kaitan antara ilmu pengetahuan versi akademik dalam perkara pemangkuan secara fisik---rebosisasi, perawatan dan penebangan dengan aturan-aturan normatif yang mengkodifikasi implikasi hukum didalamnya justru malah mencetak potret buram hutan oleh penebangan secara masif baik penebangan yang terbuka maupun ilegal. Sementara kodifikasi ini pada tataran praktis telah mengambil bentuk yang paling tajam dengan melekatkan nilai-nilai kaidah kehutanan terhadap masyarakat sekitar hutan agar memahami bahwa peran mereka atas hutan bukan sekedar menjatuhkan pandangan pada karunia tuhan, melainkan tindak tanduk mereka yang mentradisi tercermin dari baik dan buruknya keberadaan hutan disekitar tempat tinggal mereka. Namun sebaliknya, para pemangku kepentingan terus menerus mengembangkan literatur moralitas terhadap hutan untuk menepis prasangka-prasangka jahat, dustruktif, amoral dan pelanggaran hukum dengan konsesi-konsesi pekerjaan dengan harapan apabila proyek penebangan hutan dan bahkan mengkonversi hutan menjadi kawasan tambang sekalipun adalah program negara yang senafas dengan ayat-ayat suci perundang-undangan serta teori sahih analisis dampak lingkungan yang berasal dari penelitian ilmiah insan akademik.

Namun fakta umum yang berasal dari studi kasus yang menyatakan telah lama sering terjadi penyalah gunaan wewenang regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang disahkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain.

Sejalan dengan terus memburuknya kodisi lingkungan di Karawang, kini tersiar kabar momok ditengah publik tentang rencana perluasan kawasan dan zona industri yang mencapai 770 hektar hutan di kecamatan Telukjambe dan Ciampel yang diajukan oleh perusahaan masing-masing 500 hektar oleh satu perusahaan, dan 270 oleh persahaan yang satunya lagi. Namun, seperti yang dilansir Media Indonesia, Bapeda dan dinas Pertanian dan Kehutanan hanya meminta bagaimana lahan yang dipergunakan seluas itu bisa diganti, tanpa memikirkan dampak kerugiannya. Pemerintah Karawang pada titik ini hanya mengolok-olok kebenaran dengan beranalogi seperti kucing hitam dan kucing putih yang penting bisa menerkam tikus. Pemerintah hanya melihat bahwa itu lahan dan bukan laut.

Fakta lain secara khusus yang berjalan, yakni Pertambangan PT Atlasindo Utama dan Adi Mix yang berlokasi di kawasan hutan gunung Sirnalanggeng merupakan hasil buruk dari perpaduan antara kewenangan lembaga negara pengelola hutan dengan teori akademik tentang spesifikasi hutan khususnya hutan produksi yang seringkali digadang-gadang sebagai sumber devisa yang kemudian diperkuat oleh instrumen perundang-undangan berikut aparat represif/menindas, telah berhasil membelokkan kenyataan sesungguhnya, dan saat bencana longsor datang menghampiri sekitar kawasan tambang tersebut tepatnya di kawasan gunung bubut sebagai dampak nyata dari kegiatan peledakan dinamit perusahaan tambang andesit di gunung sirnalanggeng, bencana hanya menjadi cerita pilu dan konsumsi media semata.

Belum usai perusakan hutan oleh eksploitir andesit, Atlasindo, rencana keji pelenyapan hutan akan segera berlangsung. Kali ini giliran 7200 Hektaran luas hutan Kuta Tandingan lebih dari setengahnya akan dibumi hanguskan untuk kepentingan pembangunan Bandar Udara Nasional dan perluasan kawasan industri serta zona industri. Pada konteks rencana pembangunan ini juga dilegitimasi oleh aturan baru dengan mengkonsolidasi komponen-komponen mainstream seperti lembaga negara Bappenas, Kementerian kehutanan, lembaga riset, dilengkapi disiplin ilmu pengetahuan akademik yang tak tanggung-tanggung didatangkan dari luar negeri.

Sejalan dengan rencana proyek besar Bandar Udara di kawasan hutan Kuta Tandingan, dibagian Timur Laut Karawang akan segera berdiri Pelabuhan Internasional sebagaimana kehendak kapitalis Jepang yang termanifestasi dalam MP3EI. Dalam perjalanannya yang tak begitu panjang beberapa putaran perundingan asean dan nasional summit hingga memunculkan konsensus umum tentang skema koridor ekonomi Indonesia yang mana menetapkan koridor jawa sebagai koridor ekonomi 2 guna pengembangan industri manufaktur dan jasa nasional yang dipandang memiliki ketepatan konektifitas nasionalnya cukup memadai.

Sebagaimana terpapar diatas perihal noktah hitam sejarah pembalakan hutan bakau secara liar menyisakan abrasi hebat di sepanjang pantai laut Karawang. Artinya lokasi peruntukan pembangunan pelabuhan adalah lokasi yang beberapa dekade lalu merupkan kawasan hutan bakau mangrove yang telah habis dijarah tangan-tangan perusak. Bakau yang dikaruniakan tuhan dulu bukan semata-mata ciri khusus dari sebuah daerah, melainkan struktur ekologi keseimbangan alam bagi kelangsungan hidup manusia secara turun-menurun. Adapun keseimbangan tersebut terletak pada formasi hutan mangrove berupa sistem kerjanya meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Dengan demikian hutan selain dapat mengurangi bahaya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses pembentukan daratan.

dari keseluruhan uraian diatas menyiratkan kepada kita tentang peran serta fungsi hutan secara hakikat telah direduksi oleh disiplin ilmu pengetahuan akademik (mainstream) yang sampai saat ini cukup memberikan kenyamanan kepada para pemangku kepentingan untuk berteduh di bawah naungannya. Lebih spesifik lagi tersimpulkan bahwa terdapat celah longgar bagi pelaksanaan kegiatan penebangan/penjarahan kayu hutan, konversi hutan menjadi Bandara, Pelabuhan dan kegiatan galian C, juga perluasan kawasan industri berada pada teori khusus hutan produksi sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang tentang Kehutanan.

Pembalakan hutan memang tidak sepenuhnya dilakukan oleh bisnis Perhutani dan/atau kebijakan pemerintah bagi kepentingan bisnis swasta. Terdapat banyak fakta di Karawang terutama kasus pembalakan hutan mangrove dipesisir utara Karawang oleh masyarakat untuk dijadikan tambak dan pariwisata sehingga berdampak yang luar biasa dahsyatnya. Hal serupa juga terjadi di hutan gunung wilayah selatan karawang seperti penebangan kayu dalam skala kecil diareal klaim perhutani.
Kenyataan serupa ini kemudian dipandang sebagai sebuah kejahatan lingkungan yang menjijikan (baca : UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan) yang telah menyebabkan kritisnya kondisi hutan mangrove di sepanjang pantai utara. Padahal jika kita teliti secara seksama tidakan itu semata-mata berorientasi subsistensi. Mimpi buruk Suhendi dari desa Medalsari-Pangkalan yang saat ini mendekam dibalik jeruji besi sebagai ganjaran perbuatan yang ditibankan kepada dirinya karena menebang satu pohon saja, adalah realitas sosial dari bentuk KEGAGALAN NEGARA/PEMERINTAH dengan tidak menjunjung tinggi pengetahuan komunal yang subsistensial.

Dengan demikian rangkuman tulisan ini menegaskan setegas-tegasnya bahwa hingga saat ini kerusakan hutan yang berimplikasi pada sumbangan bencana banjir, kekeringan, longsor dan angin kencang dikarenakan hutan diintegrasikan kedalam kegiatan ekonomi langsung yang dengan kata kuncinya “KEUNTUNGAN”. Sistem ekonomi ini yang kemudian disebut Neoliberal yang berada dibawah kendali kapitalisme. Neoliberalisme telah secara nyata menciptakan kemiskinan secara global. Namun sistem ini tak sedikit menuai perlawanan secara global pula baik perlawanan dari rakyat dunia ketiga maupun kaum demokrat di negeri maju sendiri sepanjang kiprahnya diberbagai belahan bumi. Neoliberal merupakan sistem yang kokoh seakan tak mampu digoyah. Kekuatan neoliberal sendiri di negeri-negeri terbelakang seperti indonesia terletak pada peran penting dari apa yang disebut kelompok-kelompok kooperatifnya. Mereka adalah rejim penguasa politik dan militer negeri ini, mulai dari nasional sampai pada level daerah.
Jika mulai terkonstruksi pikiran untuk menyudahi pegrusakan demi pengrusakan hutan maka harus mencerabut pengetahuan mainstream akademik hingga akarnya dengan jalan mengembalikan hutan pada hakikatnya sebagaimana yang tuhan isyaratkan dan segera tinggalkan Neoliberal dengan alternatif kabupaten, Industrialisasi Pertanian.

Hutan dalam Perspektif Industrilisasi Pertanian
Hutan bukan warisan nenek moyang melainkan titipan Anak cucu”.
Industrialisasi Pertanian mengintrodusir prinsip Hak-hak dasar kemanusiaan, Demokrasi dan kelestarian. Yang menjadi penting dalam tahapan pembangunan Industrialisasi Pertanian adalah bagaimana menerapkan kesadaran prinsip-prinsip tersebut kepada setiap orang. Pengetahuan komunal masyarakat terkait dengan hutan yang telah lama ditindas harus terlebih dahulu dibebaskan bersamaan dengan kesanggupan perlawanan rakyat itu sendiri atas pengetahuan akademik hingga benar-benar terang benderang bahwa pengetahuan yang ilmiah tersebut merupakan subordinat dari kesatuan sistem neoliberal. Sebagaimana yang dikatakan James scott, rakyat terutama kaum tani melakukan perlawanannya berawal dari munculnya dominasi kekuasaan yang melalui pengetahuan menindas pengetahuan rakyat telah mengancam keberlanjutan subsistensi rakyat. Menurut Scott perlawanan ini terjadi ketika basis dari ekonomi lokal desa yang merupakan hak desa secara kolektif di langgar. Reaksi kaum tani terhadap kemungkinan perambahan memperlihatkan bagaimana vitalnya sumberdaya tersebut bagi subsistensi.

Secara umum pengamatan scott tadi hanya menerangkan seputar relasi sosial petani dengan kebijakan hutan ditengah arus ekonomi kaum tani yang individualis-tradisional. Namun realitas sosial demikian merupakan gambaran terang bahwa dari balik pengetahuan komunal tersimpan potensi besar dalam mengintegrasikan hutan kedalam kegiatan sistem ekonomi Industrialisasi Pertanian. Mengintegrasikan hutan bukan dalam konteks pemanfaatan hutan bagi ekstensifikasi melainkan menyerupai pilar penopang dukungan alam bagi kegiatan produksi berikut pemeliharaannya. Hak-hak kolektif kaum tani sendiri selanjutnya didapat dari pusat segala kegiatan produksi yang telah ditentukan obyekasinya dan terukur nilai ekonominya.

Adapun mengenai pemetaan geografi/koridor dimana kegiatan Industrialisasi itu diselenggarakan kemudian diselaraskan dengan karakteristik alam serta ketersediaan sumberdaya. Disetiap koridor itu pulalah hutan dibangun sebagai penyelaras produksi dan biarkan hutan memberikan seribu satu manfaat sebagaimana kemampuan fungsinya yang hakiki, sebelum bertambah banyak jatuh korban dipihak rakyat.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Resensi

+